Kemajuan
menyentuh ranah pertanian. Serangkaian teori ditemukan oleh kaum
intelektual dan dipraktikkan hingga membuahkan hasil melimpah di
tanah-tanah negeri Muslim. Panen pun mengerek tingkat kesejahteraan. Ini
semua bermuara pada pengetahuan umat Islam yang memadai tentang
pertanian.
Tak hanya soal cara memanen. Mereka telah
tahu bagaimana memilih lahan bagi tanaman mereka. Mana yang cocok dan
mana pula yang tidak. Sistem pengairan bermunculan dan memicu perkembangan teknologi di bidang ini. Mereka hapal bagaimana membuat pupuk dan komposisi penggunaannya.
Dalam bukunya yang terkenal, Kitab
al-Filaha (Buku tentang Pertanian), cendekiawan dari Andalusia atau
Spanyol, Ibnu al-Awwan, menjelaskan sejumlah langkah memulai bertani.
Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanian adalah lahan
pertanian itu. Apakah lahan tersebut baik atau tidak untuk ditanami.
Ia mengingatkan, siapa yang mengabaikan
masalah itu tak akan menuai keberhasilan saat menggarap lahan pertanian.
Ini bermakna para petani perlu memiliki pengetahuan tentang lahan,
karakteristiknya, jenisnya, tanaman, dan pohon yang mestinya ditanam
atau tidak di lahan tersebut.
Selain itu, al-Awwan mewanti-wanti pula
agar memahami betul tentang tingkat kelembapan tanah yang berdampak pada
semua tanaman. Perlu pula mengetahui jenis tanah, apakah lembut, keras,
berpasir, hitam, putih, kuning, merah, kemerah-merahan, atau kasar.
Pengetahuan dasar tentang lahan harus
didukung dengan langkah lain untuk mencapai hasil pertanian memuaskan.
Untuk hal ini, umat Islam telah mengembangkan teknologi sistem irigasi.
Bentuknya memang berbeda-beda di setiap wilayah, ada yang sederhana dan
ada pula yang lebih canggih.
Sejarawan al-Hamdani mengisahkan salah
satu bentuk sistem irigasi yang ada di Yaman, yang disebut dengan
alSamman. Ini merupakan sumber air terkenal. Kedalamannya mencapai tiga
meter. Di sekitarnya, terdapat sejumlah sumur dan telaga buatan sebagai
penampung air. Sisi-sisinya dibatasi dengan batu.
Pakar geografi Muslim bernama al Istakhri
dalam bukunya, Al-Masalik walMamalik, berbicara tentang sistem irigasi.
Menurut dia, di Marw (kini berada di wilayah Khurasan, Iran), terdapat
sebuah departemen yang secara khsusus dibentuk untuk menangani
pengelolaan air.
Departemen tersebut memiliki sebanyak 10 ribu staf.
Departemen tersebut memiliki sebanyak 10 ribu staf.
Menurut Jaser Abu Safieh dari Jordan
University, Amman, Yordania, sistem irigasi yang diwariskan oleh umat
Islam sangat efisien dan hingga kini masih digunakan di sejumlah wilayah
di Andalusia atau Spanyol. Badan seperti Water Court of Valencia masih
melakukan pertemuan mingguan pada Kamis seperti yang terjadi pada masa
Islam.
Pengembangan sistem irigasi lainnya untuk
keperluan pertanian terdapat juga di Irak. Tepatnya, di Fowkhara Gate
di tepi Sungai al-Nahrawan, Samarra. Adam Mitz, dalam Al-Hadarah
alIslamiyyah, menyebutkan bahwa ilmuwan Muslim saat itu telah mampu
mengalirkan air dari sumbernya dengan menggunakan pipa.
Mereka mempunyai sejumlah alat-alat
teknik yang bermanfaat untuk mengukur ketinggian tanah dan menggali
saluran irigasi di bawah tanah. Akhirnya, ujar Mitz, para ilmuwan itu
menemukan sejumlah mesin untuk mengukur tingkat air sungai. Dengan
berbagai penemuannya,
pertanian di dunia Islam kian berkembang.
Pupuk Pupuk telah sejak dini menjadi
perhatian. Bahkan, telah muncul pemikiran komposisi penggunaan pupuk.
Ilmuwan Muslim, Ibnu al-Hajjaj al-Ishbili, melalui bukunya Al-Muqni’ fi
al-Filahah, menjelaskan bahwa seorang petani mesti tahu jika lahan
pertanian tak dipupuk, kemampuannya akan melemah.
Di sisi lain, ia berkata agar penggunaan
pupuk tak berlebihan. Bila ini terjadi, tanah akan terbakar oleh pupuk.
Dengan pandangan yang disampaikan Ibnu al-Hajjaj ini, pengetahuan
pertanian umat Islam saat itu telah mencapai taraf yang tinggi. Sejalan
pada masa sekarang, penggunaan pupuk harus sesuai aturan pemakaian.
Pentingnya pemupukan untuk lahan
pertanian; Ibnu Bassal, Ibnu Hajjaj, dan Ibnu al-Awwam memberikan
penjelasan luas mengenai tipe pupuk dan tingkat kecocokan pupuk pada
tanaman dan lahan tertentu. Mereka menyinggung pula penggunaan daun-daun
pohon untuk menyuburkan lahan pertanian dan pemakaian pupuk kompos.
Penjelasan mengenai pupuk kompos ini di
antaranya terdapat dalam buku yang disusun Ibnu al-Awwam yang berjudul
Kitab al-Filaha al-Andalusiyyah. Manuskrip karyanya tersimpan di British
Museum. Sedangkan, Ibnu Bassal menjelaskan bagaimana membuat pupuk
kompos itu.
Paling tidak, Ibnu Bassal membagi kompos
menjadi tiga jenis. Salah satunya adalah kompos yang terbuat dari
campuran rumput, jerami, dan abu. Ketiga bahan itu dimasukkan ke dalam
sebuah lubang. Lalu, tuangkan air ke dalam lubang tersebut, tinggalkan
hingga membusuk. Ia menegaskan, penggunaan pupuk secukupnya saja.
Bassal pun berbagi pengetahuan lainnya.
Kali ini, terkait dengan penanaman yang ia sebut sebagai seni menanam.
Ada masa dan kondisi tertentu untuk menanam suatu jenis tumbuhan agar
bisa berkembang sempurna. Ia menunjuk budi daya labu. “Di negara-negara
dingin, seperti Andalusia, biji labu mesti ditanam selama bulan
Januari.” Lalu, pada bulan April, saat bibit tanaman telah kuat, baru
dipindahkan ke lahan permanen.
Sumber: Republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar