Negeri-negeri Islam berkembang pesat dan memiliki masyarakat makmur dari hasil pertanian.
Lahan pertanian telah lama menjadi karib
umat Islam. Dalam konteks ini, umat Islam tak sekadar mengolah lahan.
Namun, mereka juga mengenalkan sistem dan cara pengolahan lahan
pertanian secara lebih modern. Termasuk, cara tanam dan penggunaan
irigasi.
Bahkan, pada awal abad ke-9, sistem
pertanian modern menjadi pusat kehidupan ekonomi dan organisasi di
negeri-negeri Muslim. Pertanian di Timur Dekat, Afrika Utara, dan
Spanyol, didukung sistem pertanian yang maju.
Sebab, praktik pertanian di sana telah
menggunakan irigasi yang baik dan pengetahuan yang sangat memadai. Fakta
ini menunjukkan bahwa metode pertanian yang dipraktikkan merupakan
metode paling maju di dunia.
Umat Islam memiliki kuda-kuda terbaik,
ternak domba, dan kemampuan membudidayakan kebun buah-buahan dan
sayuran. Mereka tahu bagaimana cara membasmi serangga dan menggunakan
pupuk dengan dosis yang tepat.
Selain itu, mereka juga telah memiliki
kecakapan dalam mencangkok pohon dan tanaman untuk menghasilkan varietas
baru. Tak heran jika kemudian lahir varietas tanaman yang unggul dan
menambahkan keragaman tanaman yang ada.
Sejumlah jenis tanaman yang sebelumnya
tak dikenal, juga diperkenalkan oleh umat Islam. Pohon jeruk, misalnya,
dibawa umat Islam dari India ke Arab sebelum abad ke-10. Pohon ini
kemudian diperkenalkan ke wilayah lainnya.
Pada akhirnya, pohon jeruk ini juga
dikenal di Suriah, Asia Kecil, Palestina, Mesir, dan Spanyol. Berawal
dari Spanyol, lalu pohon jeruk tersebut menyebar ke seluruh wilayah yang
ada di Eropa Selatan.
Budidaya tebu dan pemurnian gula juga
disebarkan oleh orang-orang Arab Muslim dari India melalui Timur Dekat,
kemudian dibawa tentara Salib ke negara-negara Eropa. Kapas pertama kali
dibudidayakan di Eropa oleh bangsa Arab.
Pencapaian umat Muslim dalam bidang
pertanian mampu pula diwujudkan di tanah Arab, yang sebagian besar
merupakan lahan kering. Ini terwujud dengan menggunakan sistem irigasi
yang terorganisasi dengan baik.
Khalifah sebagai pemimpin pemerintahan,
membiayai pemeliharaan kanal-kanal besar demi kepentingan pertanian.
Sungai Efrat dialirkan ke Mesopotamia, sedangkan air dari Tigris
dialirkan ke Persia.
Tak hanya itu, pemerintahan Islam juga
membangun sebuah kanal besar yang menghubungkan dua sungai di Baghdad.
Kekhalifahan Abbasiyah merupakan dinasti yang memelopori pengeringan
rawa-rawa agar digunakan untuk pertanian.
Saat memerintah, mereka pun
merehabilitasi desa-desa yang hancur dan memperbaiki ladang yang
mengering. Pada abad ke-10, di bawah kepemimpinan pangeran-pangeran
Samanid, daerah antara Bukhara dan Samarkand, Uzbekistan berkembang
pesat.
Tak heran jika kemudian, daerah tersebut
ditetapkan sebagai salah satu dari empat surga dunia. Tiga wilayah
lainnya adalah Persia Selatan, Irak Selatan, dan kawasan yang ada di
sekitar Damaskus, Suriah.
Berdasarkan catatan sejarah dan komentar
para ilmuwan termasuk dari Barat, sistem pertanian pada era Spanyol
Muslim merupakan sistem pertanian yang paling kompleks dan paling
ilmiah, yang pernah disusun oleh kecerdikan manusia. Hal ini terjadi karena kaum Muslim
memperkenalkan banyak perubahan. Salah satu bukti, pada masa itu seluruh
Eropa hancur di bawah perbudakan, namun tanah di bawah kekuasaan Islam
mengalami kemajuan pesat di bidang pertanian.
Salah seorang cendekiawan berkebangsaan
Inggris, Joseph McCabe, mengungkapkan, di bawah kendali Muslim Arab,
perkebunan di Andalusia jarang dikerjakan oleh budak. Tapi, perkebunan
dikerjakan oleh para petani sendiri. Di sepanjang Sungai Guadalquivir, juga
terdapat 12 ribu desa yang berkecukupan, bahkan makmur. Revolusi
pertanian Islam telah diawali pada abad ke-7. Negeri-negeri Islam
berkembang pesat dan memiliki masyarakat makmur dari hasil pertanian.
Para ahli geografi awal mengungkapkan,
terdapat 360 desa di Fayyum, sebuah provinsi di selatan Kairo, Mesir,
yang masing-masing dapat menyediakan kebutuhan makanan bagi penduduk
seluruh Mesir setiap hari.
Di sisi lain, terdapat 12 ribu desa di
sepanjang Guadalquivir, Spanyol, yang memiliki lahan pertanian subur.
Ada pula 200 desa di sepanjang Sungai Tigris, Irak, yang pertaniannya
juga maju.
Bukti lain, yang menunjukkan kemajuan
umat Islam di bidang pertanian, yakni adanya sebuah sensus yang
dilakukan pada abad ke-8 di Mesir. Dalam sensus itu, dari 10 ribu desa
di Mesir, tak ada desa yang memiliki bajak kurang dari 500 unit.
Wilayah-wilayah yang kemudian berada di
bawah kekuasaan pemerintah Islam, juga mengalami perubahan ke arah
kemajuan yang drastis. Banyak wilayah yang sebelumnya tak maju, namun di
bawah pemerintah Islam, kemajuan kemudian terwujud.
Pada masa pra-Islam, Mediteranian kuno
pada umumnya hanya bisa memanen tanaman saat musim dingin. Itu pun, satu
bidang lahan hanya mampu menghasilkan satu jenis tanaman setiap
tahunnya.
Namun, datangnya Islam ke sana membuat segalanya berubah. Sebab, Muslim yang datang ke wilayah itu
memperkenalkan berbagai macam tanaman
baru. Dengan demikian, garapan pertanian pun kian beragam. Seorang ahli
agronomi Andalusia, seperti Al-Tignarî yang berasal dari Granada,
membuat referensi tentang tanaman-tanaman yang memberikan kontribusi
besar bagi peningkatan pertanian yang cukup signifikan.
Salah seorang orientalis dari Prancis,
Baron Carra de Vaux, bahkan menyebutkan, sejumlah tumbuhan dan hewan
yang berasal dari Timur dibawa ke Spanyol oleh umat Islam. Tumbuhan dan
hewan itu, kata dia, digunakan untuk beragam kebutuhan. Jadi, tak hanya
untuk keperluan pertanian maupun peternakan, tapi tumbuhan dan hewan itu
digunakan juga untuk keperluan pengembangan perkebunan, status
kemewahan, perdagangan, dan seni.
De Vaux membuat sebuah daftar. Tumbuhan
dan hewan itu adalah tulip, bakung, narcissi, lili, melati, mawar,
persik, plum, domba, kambing, kucing Anggora, ayam Persia, sutra, dan
katun. Salah satu tanaman penting yang diperkenalkan oleh umat Islam di
Spanyol adalah tebu. Sedangkan kapas, mulai dibudidayakan di Andalusia
pada akhir abad ke-11. Andalusia kemudian mampu berswasembada kapas.
Bahkan kemudian, para petani di
Andalusia mampu mengekspor kapas hingga ke luar negeri. Di sisi lain,
pengenalan tanaman baru kelak melahirkan sistem pertanian yang kompleks.
Termasuk, pembangunan irigasi. Semula sebidang lahan hanya menghasilkan
sekali panen satu macam tanaman per tahun. Namun, dengan makin
beragamnya tanaman dan adanya irigasi, petani mampu panen tiga atau
lebih tanaman per tahun.
Dengan produksi pertanian yang semacam
ini, penduduk kosmopolitan di kota-kota Islam, termasuk yang ada di
Spanyol, mampu memenuhi kotanya dengan beragam produk buah dan sayuran
yang sebelumnya tak dikenal di Eropa.
Paling tidak, ada beberapa faktor
penyebab revolusi pertanian Islam yang akhirnya sampai ke Spanyol.
Yaitu, pengenalan tanaman baru oleh umat Islam, penggunaan irigasi yang
intensif, dan penggunaan serta pengolahan tanah yang lebih baik.
Selain itu, faktor lain yang juga sangat
menentukan adalah banyaknya karya ilmiah, yang memperkenalkan inovasi
pertanian dan ilmu pengetahuan tentang pertanian.
Mereka yang Berjasa
Kemajuan pertanian di wilayah Islam,
termasuk di Spanyol, tentu tak lepas dari kontribusi ahli pertanian
Muslim. Mereka menyumbangkan pemikiran-pemikirannya dalam buku-buku
tentang pertanian. Karya mereka menjadi panduan dalam pengembangan
pertanian kala itu.
Abu’l Khair, seorang ahli pertanian di
Spanyol pada abad ke-12, misalnya, menulis Kitab Al-Filaha yang berisi
tentang hal ihwal pertanian. Dalam kitabnya itu, ia menuliskan empat
cara untuk menampung air hujan dan membuat perairan buatan.
Khair menegaskan perlunya penggunaan air
hujan untuk membantu proses reproduksi pohon zaitun dengan cara stek.
Ia juga menguraikan tentang proses pembuatan gula yang sebelumnya telah
diungkapkan ilmuwan lainnya, Ibn Al-Awwam.
Proses pembuatan gula diawali dengan
memanen tanaman tebu yang telah dewasa. Lalu, tebu-tebu tersebut
dipotong menjadi potongan-potongan kecil yang kemudian dihancurkan
dengan cara dimasukkan ke dalam alat penekan.
Setelah itu, ekstrak tebu direbus dalam
jangka waktu tertentu lalu hasilnya disaring. Hasil saringan ekstrak
tebu itu dimasak lagi sampai tinggal seperempat bagian dari jumlah
semula. Kemudian, ekstrak tebu yang terakhir ini dituangkan ke dalam
cetakan tanah liat.
Ekstrak tebu yang dimasukkan ke dalam
cetakan-cetakan berbentuk khusus itu, disimpan di tempat teduh hingga
mengeras atau mengkristal. Langkah selanjutnya, gula dikeluarkan dari
cetakan dan dikeringkan di tempat yang teduh.
Gula tersebut digunakan untuk pemanis
minuman maupun sebagai bahan campuran membuat makanan atau kue-kue yang
sangat lezat. Di sisi lain, sisi tanaman tebu tak dibuang sia-sia.
Namun, dijadikan makanan kuda, sebagai sumber kekuatan dan energi.
Ada pula ahli pertanian dari Damaskus
Suriah, Riyad al-Din al-Ghazzi al-Amiri (935/1529). Dia menulis sebuah
buku tentang pertanian yang perinci. Secara umum, para penulis Arab kuno
menuliskan tentang pertanian dalam berbagai subjek.
Di antaranya, soal jenis lahan pertanian
dan pilihan tanah, pupuk kandang dan pupuk lain, alat pertanian dan
karya budidaya, sumur, mata air, saluran irigasi, tanaman, pembibitan,
penanaman, pemangkasan, dan pencangkokan buah.
Mereka juga membahas soal budidaya
serealia, kacang-kacangan, sayuran, bunga, umbi-umbian, dan tanaman
untuk parfum. Pun, tentang tumbuhan dan hewan beracun serta pengawetan
buah. (Republika online, 27/10/2009)
sumber : suarakhilafah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar