by : ICHSAN KURNIAWAN,SP
Karakter Pesisir
Indonesia merupakan Negara Kepulauan dengan jumlah pulau
yang mencapai 17.508 dan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 Km (DKP,
2008). Keadaan ini menyebabkan kawasan pesisir menjadi andalan sumber
pendapatan masyarakat Indonesia. Secara umum, wilayah pesisir dapat
didefenisikan sebagai wilayah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut
dan ekosistem udara yang saling bertemu dalam suatu keseimbangan yang rentan
(Beatly et al, 2002).
Sementara
pesisir sendiri merupakan wilayah yang
unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat
bertemunya daratan dan lautan. Lebih jauh lagi, wilayah pesisir merupakan
wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan
pengelolaan. Departemen Kelauatan dan Perikanan dalam rancangan Undang-undang
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu mendefenisikan wilayah pesisir sebagai
kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut yang
terletak antara batas sempadan kea rah darat sejauh pasang tertinggi dan ke
arah laut sejauh pengaruh aktivitas dari daratan. Wilayah pesisir memiliki nilai ekonomi
tinggi, namun terancam keberlanjutannya. Dengan potensi yang unik dan bernilai
ekonomi tadi maka wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula,
maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat
dikelola secara berkelanjutan.
Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir
telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan
nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Sejalan dengan pertambahan
penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi “nilai” wilayah
pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah
masalah pengelolaan yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat
berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir (Nurmalasari, 2001)
Karakteristik antara daratan dan
lautan yang unik serta pemanfaatanwilayah pesisir oleh konflik kepentingan
mengakibatkan banyak masalah yang timbul pada wilayah perairan pesisir. Sebagai
contoh saja pada wilayah perairan Kota Padang. Pada beberapa titik terlihat
perairan sudah sangat tercemar oleh ragam sampah seperti di Pulau Pasumpahan
dan perairan Teluk Buo (Harian Kompas, 13 September 2012).
Tujuan dari tulisan
ini hanya sdikit menelisik mengenai isu
lingkungan dan kasus pencemaran yang terjadi pada wilayah perairan dalam pengelolaan wilayah
pesisir dengan berangkat dari contoh kasus terutama yang berada di sekitar kota
Padang melalui studi teoritis dan literatur serta analisa diagram fishbone. Dengan menyertakan diagram Fishbone maka akan terlihat sebab-sebab dari terjadinya kasus
sehingga dapat pula menjadi tolok ukur dalam penyelesaian masalah tersebut. Disamping itu juga untuk mengetahui konsep pengelolaan wilayah
pesisir yang baik sebagai solusi dari
permasalahan terkait dengan pencemaran tersebut.
Pencemaran Perairan (Contoh Kasus Kota Padang)
Setiap hari tidak kurang dari 500 ton sampah
dibuang warga kota Padang, Sumatera Barat. Dari jumlah itu 20 sampai 30
persennya melewati saluran pembuangan air, sungai, yang semuanya bermuara ke
laut. Sebagian besar sampah itu merupakan benda yang sulit terurai.
Dari 100 ton sampah yang masuk ke laut hingga 60
persennya atau sekitar 60 ton merupakan sampah anorganik. Sampah jenis ini
tidak bisa terurai secara alami, seperti plastik dan pembungkus berbahan styrofoam. Jumlah tersebut belum
ditambah dengan sampah buangan dari kapal dan beberapa lokasi pekerjaan di atas
perairan seperti tambak keramba jaring apung (KJA).
Hal ini pernah ditemukan bila menyelam di Pulau
Pasumpahan, Kota Padang. Pada kedalaman sekitar 18 meter beragam sampah
domestik mengendap di dasar pulau dengan substrat pasir. Jenis-jenis sampah
yang terlihat seperti plastik bungkus makanan, popok bayi hingga helm
pengendara sepeda motor yang terlihat pada bagian yang lebih dangkal.
Pencemaran wilayah perairan tersebut sebenarnya
telah menjadi masalah dunia dan pencemaran di Pulau Pasumpahan hanyalah contoh
kecil pencemaran yang terjadi. Seperti halnya yang dirilis Greenpeace.org bahwa
terdapat pusaran sampah di perairan Pasifik Utara. Pusaran sampah tersebut
diperkirakan sudah seluas Negara Bagian Texas di Amerika Serikat.
Pusaran sampah tersebut juga disebut “The Asian
Trash Trail” dan Eastern Garbage Patch” itu merupakan akumulasi sampah-sampah
yang tidak terurai secara alami dan didominasi oleh plastik yang dalam kurun
waktu tertentu menjadi serpihan-serpihan kecil dan kerap dianggap makanan oleh
biota laut seperti ikan, penyu dan burung laut.
Sejumlah kasus kematian biota laut akibat
mengkonsumsi sampah kerap kali dilaporkan. Selain itu sampah mengapung
disebutkan bisa menjadi agen bagi biota laut di kawasan tertentu untuk
membonceng ke kawasan lain sehingga mengganggu kestabilan ekosistem. (Sumber :
Harian Kompas, 13 September 2012).
Pengelolaan Terpadu dan Terencana
Pengelolaan
wilayah pesisir berfungsi untuk perencanaan kawasan, pengembangan dan
pembangunan ekonomi, perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya, resolusi konflik,
perlindungan keselamatan umum dan penataan pemilikan sumberdaya. Tetapi dalam implementasinya mengidentifikasi masalah-masalah
seperti: (1) kurangnya pengetahuan mengenai pesisir dan lautan, (2) rendahnya
penilaian (valuation) pada sumberdaya pesisir dan lautan, (3) kurangnya
pemberdayaan masyarakat dan pengguna sumberdaya pesisir dan lautan, (4) ketidakjelasan
wewenang pengelolaan, (5) rendahnya kapasitas kelembagaan, dan (6) kurangnya
keterpaduan antar prakarsa.
Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110
pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut
(UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2
juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut
teritorial seluas 0,3 juta km2. Serta memiliki luas laut sekitar 5,8 Km2 (75 %
total areal indonesia) serta memiliki Potensi yang sangat besar merupakan suatu
urgensi pengelolaan Pesisir. Potensi wilayah pesisir belum termanfaatka secara
maksimal, hal ini dapat disebabkan oleh hal yang disebutkan di atas.
Sumberdaya kawasan pesisir dan laut
memiliki spesifikasi lokasi dengan karakteristik yang beragam baik lahan,
komoditas maupun sumberdaya manusianya. Karena itu konsep pengembangan kawasan
pesisir bertitik tolak dari meningkatkan kekuatan dan menurunkan kelemahan
supaya kawasan pesisir mampu berlaku sebagai pelaku dan bukan sebagai obyek
pembangunan dan upaya pengelolaan sumberdaya perikanan harus didasarkan kepada
karakteristik wilayah dan kebutuhan faktual dari masyarakat kawasan pesisir
serta dapat mendukung upaya peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan
sekaligus tetap mendukung keberlanjutan produksi dan kelestarian sumberdaya
perikanan. Pengelolaan wilayah pesisir harus didasarkan pada pendekatan
ekosistem yang meliputi interaksi yang bersifat fisika, kimia dan biologi
antara berbagai variasi komponen yang berkaitan dengan hal yang bersifat alami
dan masukan yang berasal dari kegiatan manusia, baik yang masuk, keluar dan
alirannya kedalam system tersebut (Fabbri, 1998).
Pola pembangunan kawasan peisir yang
masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi perlu diganti dengan pembangunan
berkelanjutan. Pendekatan dan praktek pengelolaan pembangunan wilayah pesisir
yang selama ini dilaksanakan secara sektoral dan terpilah-pilah, perlu
diperbaiki melalui pendekatan pengelolaan secara terpadu. Selain itu dalam
pengelolaan kawasan pesisir masih terdapat konflik dan tingginya tingkat
eksploitasi yang mengakibatkan
terjadinya tekanan pada keberlanjutan ekosistem yang ada di kawasan
pesisir.
Pada intinya makna atau arti dari
pengelolaan pesisir terutama dalam pengelolaan sumberdaya yang ada sangat
tergantung kepada siapa yang memanfaatkan.
Sebagai contoh, bagi nelayan pengelolaan sumberdaya pesisir adalah
adanya pemisahan ijin aksesibilitas pada stok ikan dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan, pemisahan tersebut adalah antara perikanan tradisional dengan
komersial. Untuk pengembangn wisata pengelolaan lingkungan peisisr dimaksud
untuk pencegahan erosi terhadap fasilitas pariwisata yang dibangun seperti
hotel dan resort, sedangkan bagi pemerintahan lokal dapat diartikan sebagai
cara untuk meniadakan konflik antar pengguna sumberdaya, dan pengoptimalisasi
pembangunan di kawasan pesisir.
Dalam kompleksitas
pemanfaatan dan di tengah isu konflik pemanfaatan yang ada, masalah yang tak
kalah penting yakni menyangkut terjadinya pencemaran pada wilayah perairan
pesisir. Pemanfaatan dengan keragaman tinggi seperti industri, tambang,
perikanan, pertanian, pemukiman dan tempat wisata acap kali mengabaikan
pengelolaan limbah atau sampah buangan dari aktivitas yang mereka lakukan
sementara pencemaran perairan menjadi sangat urgen karena menimbang
ketergangguan ekosistem yang ada di wilayah pesisir yang notabene merupakan
sumberdaya yang mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi.
Secara garis besar isu dan permasalahan
dalam pengelolaan pesisir hingga
muncul permasalahan pencemaran perairan adalah kompleksitas pemanfaatan yang
tak disertai dengan pengelolaan yang baik antara lain
adalah :
a. Potensi
konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar sektor dan
stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Kondisi
ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumberdaya pesisir yang ada serta
karakteristik wilayah pesisir yang “open acces” sehingga mendorong wilayah
pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama bagi kegiatan-kegiatan beberapa
sektor pembangunan (multi-use).
Dalam hal ini, konflik kepentingan tidak
hanya terjadi antar “users”, yakni sektoral dalam pemerintahan dan juga
masyarakat setempat dan pihak swasta, namun juga antar penggunaan antara lain
(i) perikanan budidaya maupun tangkapan (ii) pariwisata bahari dan pantai (iii)
industri maritime seperti perkapalan (iv), pertambangan, seperti minyak, gas,
timah dan galian lainnya; (v) perhubungan laut dan alur pelayaran dan yang
paling utama adalah (vi) kegiatan konservasi laut dan pesisir seperti hutan
bakau (mangrove), terumbu karang dan biota laut lainnya.
Sektor perhubungan: penyediaan
sistem jaringan transportasi darat yang terintegrasi dengan sistem transportasi
laut, serta pengelolaan transportasi laut agar tidak mencemari perairan laut
dan pesisir.
Sektor pertanian: pengelolaan
kegiatan pertanian yang berwawasan lingkungan sehingga mengurangi volume
polutan yang mencemari perairan laut dan pesisir. Aktivitas pertanian konvensional cenderung
mencemari perairan karena residu bahan sintesis dari pertanian konvensional
tersebut.
Sektor industri: pengembangan
kegiatan industri yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir
serta pengelolaan kegiatan untuk mengurangi pencemaran perairan laut dan
pesisir. Hal ini karena kebanyakan
pencemaran wilayah perairan juga terjadi disebabkan zat berbahaya dari limbah
industri dengan pengelolaan pembuangan yang buruk.
Sektor perumahan dan
permukiman: peningkatan kualitas lingkungan permukiman dengan pengelolaan
sampah yang baik. Seperti contoh kasus di perairan sekitar Pulau Pasumpahan
terjadi pencemaran lingkungan wilayah perairan dari sampah rumah tangga yang
tak terurai mulai dari plastik-plastik dari bungkusan makanan sampai
sampah-sampah popok bayi yang sangat mencemari perairan seperti contoh di
wilayah perairan Pulau Pasumpahan.
Berikut diagram
Fishbone dari kasus pencemaran perairan pesisir.
Gambar 4. Diagram
Fishbone Pencemaran Perairan Pesisir
b. Potensi
konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan dan pemanfaatan
wilayah laut dan pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi tidak
berhimpitnya pembagian kewenangan yang terbagi menurut administrasi pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota dengan kepentingan wilayah pesisir tersebut yang
seringkali lintas wilayah otonom.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang No 22 tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa kewenangan Daerah Propinsi
terdiri atas darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sementara
menurut pasal 10 UU 22/1999, kewenangan Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas
wilayah darat dan wilayah laut sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi
atau sejauh 4 (empat) mil laut. Di satu sisi, kejelasan pembagian kewenangan
ini diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan dari pemanfaatan sumberdaya
pesisir, seiring dengan semakin pendeknya ”span control” dan semakin jelasnya
akuntabilitas dalam pengelolaanya.
Di sisi lain, justru hal ini berpotensi
menimbulkan persoalan konflik antar wilayah dan potensi disintegrasi ketika
kualitas pengelolaan sumberdaya kelautan dan pantai di daerah otonom tersebut
sangat dipengaruhi oleh kegiatan yang berada di wilayah Kabupaten/Kota lainnya
yang berada pada bagian atas daratan, hulu atau yang bersebelahan.
c. Rendahnya
tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir yang bermata pencaharian di
sektor-sektor non-perkotaan.
d. Timbul
berbagai dampak pembangunan yang tidak hanya bersumber dari dalam wilayah
pesisir, tetapi juga dari wilayah laut dan pedalaman. Hal ini merupakan
konsekuensi dari fungsi wilayah pesisir sebagai “interface” antara ekosistem
darat dan laut, wilayah pesisir (coastal areas) memiliki keterkaitan antara
daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut,maka pengelolaan kawasan
di pesisir tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua
wilayahtersebut.
Berbagai dampak lingkungan yang terjadi
pada wilayah pesisir merupakan akibat dari kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan di wilayah daratan beserta perubahan rona lingkungan yang
diakibatkannya. Hal ini berdampak pada tingginya tingkat sedimentasi yang
mengancam keberadaan padang lamun (sea grass) dan terumbu karang (coral),
selain bencana banjir yang menimpakawasan pesisir. Demikian pula dengan
berbagai kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran
minyak lepas pantai dan perhubungan laut, juga menimbulkan polusi yang
mengancam ekosistem pesisir. Penanggulangan permasalahan yang muncul di dan
pesisir ini tidak dapat dilakukan hanya di wilayah pesisir saja, tetapi harus
dilakukan mulai dari sumber dampaknya.
Dengan kata lain, pengelolaan di wilayah
ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta daerah aliran
sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dalam keterpaduan pengelolaan, dimana
keterkaitan antar ekosistem menjadi aspek yang harus diperhatikan.
e. Lemahnya
kerangka hukum pengaturan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir serta
perangkat hukum untuk penegakannya menyebabkan masih banyaknya pemanfaatan
sumberdaya yang tidak terkendali sehingga menyebabkan ragam masalah termasuk
pencemaran wilayah perairan. Juga tidak adanya kekuatan hukum dan pengakuan
terhadap system-sistem tradisional serta wilayah laut dalam pengelolaan sumber
daya pesisir.
Ada beberapa poin yang merupakan solusi
dari permasalahn konflik keperntingan dalam pemanfaatan wilayah pesisir yang
juga merupakan pangkal terhadap terjadinya permasalahan pencemaran wilayah
perairan pesisir yakni dengan mensinergikan elemen yang membangun wilayah
pesisir baik dari pemanfaat, stakeholders kontrol seperti pemerintah, lembaga
adat dan LSM sampai kepada penerapan aturan hukum yang berlaku.
Dengan bertitik tolah
pada UU No 27 Tahun 2007, pengelolaan secara terpadu dengan menekankan
pemafaatan sumberdaya pesisir dengan memperhatikan konservasi dan kelestarian
lingkungan dirasa cukup dapat menjadi jalan keluar baik terhadap permasalahan
pencemaran secara khusus maupun juga menyangkut kepada konflik keperntingan
pemanfaatan sumberdaya pesisir. Selain itu peran stakeholders terkait juga
sangat penting termasuk di dalamnya lembaga adat dalam menguatkan keraifan
lokal yang berlaku pada wilayah tersebut.
Artikelnya panjnag sekali! Tapi lumayan menambah wawasan saya tentang pertanian. Thank's sir!
BalasHapus